Reporter Tribunnews.com Chaerul Umam melaporkan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) menganggap keterlibatan OJK dalam pengawasan koperasi dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) melawan hukum.
Kepala Dekopin Sri Untari Bisowarno mengatakan, ketentuan dalam RUU PPSK bertentangan dengan UU 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021.
Yang merupakan regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), serta UU 21/2011 tentang OJK.
“Perlu dipertahankan agar keberadaan RUU PPSK yang mengatur usaha simpan pinjam oleh koperasi tidak tumpang tindih (harmonisasi) dengan peraturan koperasi,” ujar Sri Untari dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR. RI, Rabu (30/11/2022).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK bertugas mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, dan lembaga keuangan lainnya.
“Tugas OJK adalah mengatur dan mengawasi industri/lembaga jasa keuangan yang berhubungan dengan masyarakat. Sedangkan usaha simpan pinjam tidak bertransaksi dengan masyarakat,” katanya.
General Manager Koperasi Wanita Setia Budi (SBW) Malang-Jawa Timur itu juga menjelaskan, koperasi termasuk lembaga yang diawasi oleh OJK. Karena pada kenyataannya koperasi tidak boleh melakukan usaha simpan pinjam secara terbuka atau kepada bukan anggota.
Di sisi lain, ia juga mengkritisi salah satu ketentuan UU 1/2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang menyatakan bahwa LKM dapat berbadan hukum koperasi.
Karena itu, dia mendesak agar ketentuan terkait LKM dan badan koperasi segera ditinjau kembali.
“Ini sangat menimbulkan kebingungan dan kami berharap ini dihilangkan dari kata koperasi dan kata LKM,” kata Sri Untari.
“Jadi biar MFK bentuk LKM, jangan bentuk koperasi. Karena kalau LKM bentuk koperasi, mereka bingung lagi, ambil dana masyarakat, taruh di LKM, lalu bertindak atas nama koperasi, dan kalau koperasi gagal,” lanjut Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Jatim itu.
Baca juga: Koperasi Multi Daerah Kirim Bunga Papan Tolak RUU PPSK
Pihaknya juga menemukan perubahan Pasal 44 UU 25/1992 yang dikembangkan menjadi 24 pasal baru dalam RUU PPSK terkait Usaha Simpan Pinjam (USP) Koperasi yang dinilai akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
Yang menempatkan Koperasi USP sebagai bagian dari usaha sektor keuangan yang berhubungan dengan masyarakat. Sehingga ketentuan ini memuluskan usulan pengawasan KSP oleh OJK.
Menurutnya, ketentuan tersebut menimbulkan disharmonisasi dengan kewenangan Kementerian Koperasi dan UKM yang tertuang dalam aturan yang dikeluarkan UU Cipta Kerja yakni PP 7/2021.
Kemudian, RUU PPSK mengatur bahwa kegiatan USP hanya dilakukan oleh koperasi simpan pinjam sebagai lembaga. Padahal, menurut PP 7/2021, USP dapat dilakukan tidak hanya secara kelembagaan, tetapi dapat menjadi bagian lain dari koperasi (serba usaha).
Selain itu, PP 7/2021 juga secara tegas melarang transaksi usaha koperasi di bidang keuangan, dan usaha simpan pinjam koperasi dilarang melakukan transaksi dengan bukan anggota.
“Transaksi jasa adalah transaksi antara koperasi dengan anggota sebagai pemilik. Sedangkan transaksi bisnis adalah transaksi kerjasama dengan bukan anggota,” pungkas Sri Untari.