liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
  • Wed. Jun 7th, 2023

LOTUS138.INK

HOT BERITA-BERITA TERUPDATE

Gubernur BI Sebut Indonesia Tak Alami Resesi, Tapi Terancam Resflasi, Apa Itu?

Gubernur BI Sebut Indonesia Tak Alami Resesi, Tapi Terancam Resflasi, Apa Itu?

Laporan reporter Tribunnews.com, Nitis Hawaroh

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sejumlah negara maju diprediksi mengalami resesi pada 2023.

Di tengah pemberitaan dunia bahwa resesi akan terancam akibat inflasi, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, ada istilah lain yang justru mempengaruhi Indonesia. Istilahnya adalah “Reflasi”.

Perry menjelaskan, Reflation merupakan fenomena resesi yang disertai dengan tingkat inflasi yang tinggi. Hal ini akan berdampak pada penurunan ekspor dan perlambatan ekonomi.

“Ada risiko stagflasi, di mana pertumbuhan macet tapi inflasi tinggi. Sebenarnya istilahnya reflasi, risiko resesi dan inflasi tinggi,” kata Perry dikutip Kamis (12/1/2023).

Baca juga: Pakar Nilai Cipta Kerja Perppu Bisa Dukung Mitigasi Dampak Resesi Global

Perry mengatakan, meski dikatakan Indonesia tidak akan mengalami resesi, dampak negara yang berpotensi mengalami resesi justru akan mengancam Indonesia.

Misalnya fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sering terjadi pada perusahaan berorientasi ekspor di Indonesia.

Sementara menurut Direktur Center for Economic and Legal Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan, Reflation adalah istilah yang mengacu pada tingkat inflasi yang bertepatan dengan resesi ekonomi.

Padahal, menurutnya, resesi sudah terjadi di Inggris dan Rusia. Hal ini tergambar dari krisis pangan, krisis energi.

“Jadi bukan hanya inflasi yang tinggi, lapangan kerja yang berkurang, bahkan inflasi yang tinggi, terjadi kontraksi pertumbuhan ekonomi selama dua triwulan atau lebih. Sehingga Indonesia perlu mewaspadai dampak resesi yang disertai inflasi bisa cukup besar. dampak. Dampak yang signifikan,” kata Bhima kepada Tribunnews, Kamis.

Untuk itu, kata Bhima, Indonesia perlu mewaspadai efek reflasi yang berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah, meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan.

“Kita mungkin terjebak dalam jangka panjang pada pertumbuhan ekonomi yang rendah dan pemulihan akan memakan waktu yang sangat lama,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Republik Indonesia (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kerap mengingatkan ancaman resesi ekonomi global pada 2023.

Hal itu juga terlihat dari belasan negara maju yang telah terdaftar sebagai pasien International Monetary Fund (IMF). Selain itu, 63 negara berada dalam situasi sulit akibat utang.

“Diakui dalam statistik bahwa ada lebih dari 63 negara di dunia yang situasi utangnya mendekati atau tidak lagi berkelanjutan,” kata Sri Mulyani dalam acara CEO Banking Forum yang berlangsung secara virtual.

Baca juga: Menlu Retno Ingatkan Tantangan Global 2023 Semakin Sulit Akibat Resesi dan Situasi Geopolitik

Sri Mulyani mengatakan beberapa negara Asean juga mengalami kondisi ekonomi yang sulit, antara lain Bangladesh, Sri Lanka, dan Pakistan yang menjadi pasien IMF.

“Jadi ini peringatan. Tahun 2023, prediksi dari lembaga global tentang dunia tidak menggembirakan, tidak hanya inflasi dan kemungkinan resesi, dan mungkin juga ada masalah dengan kesinambungan utang di berbagai negara,” katanya.

Selain itu, Bank Dunia mengumumkan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 menjadi 1,7 persen, angka tersebut lebih rendah 1,3 poin persentase dari perkiraan sebelumnya yang saat itu ditetapkan sebesar 3 persen.

Alasan utama Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonominya adalah inflasi yang lebih tinggi dan kenaikan suku bunga, invasi Rusia ke Ukraina, dan investasi yang lebih rendah.